Sebagai langkah korektif, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan yang membuka peluang penerbitan sertifikat tanah di atas kawasan perairan dengan memastikan kesesuaiannya terhadap prinsip dasar agraria dalam UUPA 1960. Regulasi seperti PP No. 18 Tahun 2021 dan sejenisnya harus dikaji ulang agar tidak bertentangan dengan sistem hukum pertanahan yang telah mapan serta tidak dimanfaatkan untuk kepentingan investasi yang merugikan kepentingan publik.
Kasus penerbitan sertifikat tanah di lokasi yang objeknya bukan tanah mengundang perdebatan dalam skala luas baik di kalangan masyarakat maupun kelompok spesifik akademik. Sebelumnya, publik di Indonesia heboh soal sertifikat tanah di atas laut di Tangerang dan Bekasi serta beberapa tempat lainnya. Kehebohan itu ditambah dengan munculnya sertifikat tanah di kawasan sungai di Bekasi. Fenomena ini tentu saja mengusik akal sehat, benarkah pemberian hak atas tanah di atas perairan ini, baik laut maupun area sungai, sesuai dengan prinsip dan ketentuan hukum pertanahan yang kita anut? Ataukah ini justru tanda tanya besar atas tata kelola sumber daya agraria kita, terutama tanah.
Hak Atas Tanah Berdasarkan UUPA 1960
Regulasi pertanahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari satu tonggak utama, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini sejak awal dirancang sebagai payung besar (umbrella act) yang menaungi segala peraturan sektoral di bidang agraria. Maka, ketika muncul perdebatan mengenai legalitas sertifikat hak atas tanah di atas air sudah sewajarnya kita kembali ke “kitab” hukum agraria ini untuk mencari jawabannya.
Bagaimanapun juga, fenomena sertifikat hak atas tanah di atas air telah membelah pandangan akademisi hukum pertanahan ke dalam dua kutub. Di satu sisi, ada yang menegasikan keberadaan eksistensi hak atas tanah di atas air. Di sisi lain, ada pula yang mendukung dengan merujuk pada Pasal 1 ayat (4) UUPA 1960. Pasal ini memang menyebut bahwa konsep “bumi” mencakup permukaan, tubuh bumi di bawahnya, serta yang berada di bawah air. Namun, benarkah ini bisa menjadi dasar hukum untuk mengeluarkan sertifikat tanah di atas air? Jawabannya perlu dielaborasi lebih jauh secara cermat.
Pasal tersebut sejatinya tidak berbicara soal hak atas tanah, melainkan mendefinisikan ruang lingkup objek hukum agraria, mulai dari tanah, hutan, air, hingga tambang dan tata ruang. Bahkan, UUPA melalui penjelasan Pasal 1 dengan tegas membedakan maksud antara “bumi” dan “tanah.” Dalam konteks hukum agraria, “tanah” merujuk pada permukaan bumi—sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA 1960—dan inilah yang bisa diberikan hak seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan sebagainya (lihat Pasal 16 ayat (1) UUPA 1960).
Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) UUPA 1960 memang memberikan kewenangan kepada pemegang hak atas tanah untuk memanfaatkan tubuh bumi, air, dan ruang udara yang ada di atasnya. Namun, pemanfaatan ini hanya sah sejauh masih berkaitan langsung dengan penggunaan tanah tersebut. Artinya, haknya tetap melekat pada tanah di permukaan bumi, bukan pada tanah yang berada di bawah air. Sebagai contoh, seorang pemilik tanah untuk usaha perikanan boleh membangun kolam atau sumur bor, tetapi ia tidak bisa mengambil air dalam jumlah besar hingga merugikan orang lain atau mengklaim bahwa sumber daya mineral yang ada di bawah tanahnya adalah miliknya juga. Begitu pula, pemilik tanah tidak bisa mengklaim ruang udara tinggi di atas propertinya untuk menghambat jalur penerbangan.
Di bawah payung hukum agraria Indonesia, hak atas tanah bukan sekadar soal kepemilikan lahan di permukaan, tetapi juga mencakup dimensi vertikal—dari kedalaman bumi hingga udara di atasnya. Namun, ada garis batas yang tegas, hukum tidak memberi celah bagi lahirnya hak atas tanah di atas perairan. UUPA 1960 dengan jelas membedakan antara hak atas tanah, air, dan ruang angkasa, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3). Sebab itu, gagasan dan praktek tentang sertifikat tanah yang “mengambang” di atas laut atau sungai bukan hanya bertentangan dengan logika hukum, tetapi juga menyalahi prinsip fundamental hukum agraria nasional.
Memperluas Makna Tanah
Bayangkan betapa absurdnya jika tanah bisa “mengambang” di atas air. Namun, itulah yang terjadi ketika sertifikat hak atas tanah diterbitkan untuk wilayah perairan. Ini bukan sekadar kesalahan administratif belaka, melainkan bagian dari skenario besar yang dengan sengaja membuka celah hukum demi melegalkan praktik kontroversial ini. Salah satu buktinya adalah lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.