IPHI 1987 JABAR

Catatan Tersebar Seorang Hakim Ad Hoc

Hukumonline Newsroom


Ditulis seorang hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, buku ini menyajikan beberapa masalah dalam penegakan hukum.

Julukan ‘Yang Mulia’, atau ‘Wakil Tuhan’ yang disematkan kepada setiap hakim di Indonesia pada dasarnya merupakan harapan besar. Agar dalam setiap memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, hakim menjalankan sikap dan keputusan mulia; agar hakim selalu mengingat Tuhan dalam setiap langkah yang diambil. Hakim bebas mengadili tetapi ada ekspektasi besar di balik kebebasan itu.

Dalam siklus penegakan hukum, tentu peran hakim sangat besar. Mereka dapat menentukan masa depan seseorang. Melalui putusan, hakim dapat membatasi hak dan kebebasan terdakwa; memindahkan status kepemilikan harta benda; atau mewajibkan seseorang harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Di ruang sidang, hakim duduk lebih tinggi dibandingkan penegak hukum lain, dan para pencari keadilan. Meskipun demikian, hakim tetaplah berhadapan dengan manusia. Itu sebabnya, mahaguru Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Roeslan Saleh, pernah menulis bahwa mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. “Mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia pada hakekatnya tidaklah mungkin,” tulisnya (1979).

Baca juga:

Dalam pergulatan kemanusiaan itulah seorang hakim menghadapi beragam masalah, respons, perspektif, dan norma. Dalam perkara pidana, hakim berinteraksi dengan jaksa, advokat, terdakwa, dan kadang polisi. Dalam perkara perdata, interaksi dan masalahnya mungkin lebih kompleks lagi. Dalam lingkup administrasi, hakim acapkali berhadapan dengan orang-orang yang duduk di pemerintahan. So pasti, ada pergulatan batin hakim selama proses mengadili itu.

Andreas Eno Tirtakusuma, seorang hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mencoba menggambarkan apa yang dihadapi hakim tersebut, lewat dua karya yang diterbitkan sekaligus pada Desember 2024. Kedua buku ini adalah kumpulan tulisan Andreas dalam berbagai forum. Pertama, lewat buku “Hakim dan Penegakan Hukum”, Andreas mengajak pembaca untuk melihat bagaimana hakim dalam proses penegakan hukum. Misalnya, bagaimana seharusnya hakim melihat secara kritis melihat fenomena saling lapor dalam masyarakat dalam perspektif perlindungan pelapor. Atau, bagaimana hakim memposisikan diri ketika tujuan-tujuan hukum, misalnya ala Gustav Radbruch, saling beririsan dalam kasus yang ditangani.

Baca Juga  Legislator Warning Pemerintah Jamin dan Lindungi Hak Pekerja Sritex

Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Maka, ketika ada perkembangan baru, hakim harus cepat-cepat menyesuaikan diri. Andreas mengajak pembaca bagaimana menumbuhkan keyakinan dari bukti elektronik, bukti yang sejalan dengan perkembangan teknologi. Hakim harus menjawab pertanyaan: apakah chat atau emoticon yang disampaikan lewat gawai dapat menjadi bukti terjadinya suatu peristiwa atau persetujuan? Kali lain, hakim harus memahami bagaimana menangani perkara saat bencana non-alam seperti Covid-19 terjadi; dan memahami kebijakan restorative justice yang sedang berkembang.

Buku kedua, “Hakim dan Hukum Pidana Korupsi”, lebih spesifik. Hanya membahas masalah-masalah korupsi. Buku ini menampilkan lima tema tulisan Andreas: cara represif menghadapi koruptor; implikasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi; perdebatan mengenai pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi; tanggung jawab korporasi, dan pencegahan korupsi dana desa.



Source link

//
Tim Dukungan IPHI 1987 JABAR siap menjawab pertanyaan anda
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?