IPHI 1987 JABAR

Menyoal Pembatasan Ruang Gerak Pers dalam Rancangan KUHAP

Hukumonline Newsroom


Dalam negara yang demokratis, ruang persidangan adalah panggung publik. Ia bukan ruang privat milik negara. Dan publik mempunyai hak untuk mengetahui, tidak hanya dalam lembaran surat informasi resmi, tapi juga dari sorot lensa kamera yang apa adanya. Sebab, keadilan sejati tidak lahir dari kesunyian ruang pengadilan, tapi dari keberanian publik dalam mengawalnya.

Dokumentasi dan penyiaran aktivitas persidangan—entah dalam bentuk foto, konten video maupun siarang langsung (live streaming)—bukanlah instrumen kekacauan. Ia adalah sarana kognitif untuk memahami bagaimana hukum bekerja di balik gedung pengadilan. Dalam tradisi akademik, dokumentasi menjadi bukti untuk memperkuat refrensi. Sedangkan, dalam dunia jurnalistik, ia menjadi dasar pelaporan dan pengawasan publik terutama terhadap jalannya sistem pemerintahan. Sebagai bagian keempat dari pilar demokrasi, kamera dan pena dari pers yang bekerja adalah alat untuk memelihara ingatan hukum, bukan alat sabotase terhadap keadilan. 

Di tengah semangat membangun ekosistem peradilan pidana yang seimbang dan transparan, lalu mengapa dalam Rancangan KUHAP yang masih tengah dibahas, mencuat polemik di sejumlah pasal yang dirasa kontroversial dan merugikan, salah satunya menyoal pembatasan penyiaran persidangan yang hanya boleh dilakukan dengan izin pengadilan? 

Mengamati ketentuan Pasal 253 ayat (3) R-KUHAP tertulis bahwa setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasi proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan. Konsekuensinya, ayat (4) di pasal yang sama mengatur lebih tegas apabila siaran langsung tetap dilakukan tanpa izin pengadilan, maka pelaku bisa diproses hukum pidana. 

Polemik menyoal pembatasan penyiaran ini bukan kali pertama terjadi pada R-KUHAP. Jauh sebelumnya, hampir serupa dengan substansi pasal di atas, Mahkamah Agung telah mengeluarkan PERMA RI Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, di mana salah satu isinya mengharuskan pengambilan foto, rekaman audio atau rekaman audio visual seizin Hakim/Majelis Hakim sebelum persidangan. Akibatnya, pelanggaran aturan ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (6) Jo. Pasal 7 PERMA RI Nomor 5 Tahun 2020. 

Baca Juga  Peran Laporan ESG dalam Mendorong Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Meskipun aspek penyiaran persidangan telah diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung, substansi Pasal 253 ayat (3) R-KUHAP justru akan semakin melegitimasi penghambatan fungsi vital pers dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya dalam menyampaikan informasi kepada publik.

Bagaimanapun, kehadiran jurnalis dalam aktivitas persidangan bukanlah semata-mata meliput dan mendokumentasi, tetapi merupakan implementasi dari prinsip keterbukaan informasi, transparansi dan jaminan atas hak publik untuk mengakses keadilan. Hal ini senapas dengan semangat yang ditanamkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang secara tegas menjamin kemerdekaan pers, termasuk memberikan hak kepada pers nasional untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan serta informasi kepada publik. 

R-KUHAP dan Keterbukaan Prosedural 

Menyikapi pasal kontroversial itu, kita sedang mengamati adanya pergeseran prinsip yang terjadi secara tak langsung: Persidangan yang semestinya terbuka untuk umum menjadi persidangan terbuka dengan persetujuan. Dari keadilan yang bisa diakses oleh semua orang, kini menjadi keadilan yang dibatasi. 



Source link

//
Tim Dukungan IPHI 1987 JABAR siap menjawab pertanyaan anda
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?