Peristiwa yang berlangsung di Surabaya, Sabtu 26 April 2025, tidak hanya momentum untuk pelantikan Pusat Mediasi dan Resolusi Konflik, tetapi juga menjadi dialog untuk mediasi dan peraturan bermasalah di Indonesia. Pusat Resolusi Mediasi dan Konflik (PMRK), diwakili oleh Hesti Armiwulan, mengatakan bahwa tim PMRK telah menyiapkan RUU mediasi untuk diteruskan ke Mahkamah Agung. Profesor Universitas Surabaya mempercayakan gagasan mediasi RUU ini melalui Mahkamah Agung.
Pada waktu itu, kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Sobandi, memang pembicara utama dalam webinar khusus yang dipegang oleh PMKR online dan memikat setelah upacara pelantikan manajemen. Sobandi menghargai gagasan memperkuat dasar hukum mediasi menjadi undang -undang. “Kami menyambutnya dengan baik,” katanya.
Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung juga berencana untuk memperbarui Nomor Peraturan Mahkamah Agung 1 tahun 2016 mengenai prosedur mediasi di pengadilan (mediasi perma) untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan. “Saya telah mengusulkan kepemimpinan Mahkamah Agung sehingga EMA diubah,” kata Sobandi. Salah satu poin penting yang harus diperkuat adalah keberadaan mediator nonhakim.
Pada awal Maret, Mahkamah Agung mengundang 27 lembaga yang mengorganisir sertifikasi mediator non -Hakim. Ketua Ruang Pengembangan Mahkamah Agung Syamsul Ma’arif, dan Sobandi menghadiri pertemuan tersebut. Mahkamah Agung berharap bahwa lembaga pengorganisasian sertifikasi meningkatkan kualitas pelatihan. Sesuai dengan Mediasi Perma Pasal 12, Mahkamah Agung memang ditugaskan untuk menetapkan tata kelola, termasuk penyediaan akreditasi dan evaluasi lembaga sertifikasi mediasi yang terakreditasi. Lembaga di luar pengadilan, seperti PMRK, dapat mengeluarkan sertifikat mediator, sebagai tanda bahwa seseorang telah mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi mediasi. Secara umum, mereka yang lulus dari lembaga sertifikasi adalah mediator nonhakim.