Pemerintah Indonesia bisa menerapkan regulasi non tarif, misalnya standar mutu, SNI, halal. Intinya kepentingan dalam negeri jangan sampai dikorbankan, tidak hanya konsumen, tetapi juga kepentingan petani, produk lokal, UKM-UMKM, termasuk entitas BUMN sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.
Pemerintah Indonesia boleh jadi tersenyum lega, khususnya Presiden Prabowo Soebianto, setelah berhasil “menjinakkan” kebijakan Uncle Trump, yang semula menerapkan tarif 32 persen; dan kini “hanya” menjadi 19 persen. Angka 19 persen ini menjadi angka terendah di ASEAN, bahkan di Asia, yang rata rata dikenakan tarif di antara 20-30 persen. Selanjutnya bahkan, negeri Paman Sam itu memberikan “diskon” tarif nol persen untuk produk ekspor Amerika yang akan masuk ke Indonesia.
Keberhasilan menurunkan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen, secara kasat mata mungkin memang sebuah prestasi. Apalagi kemudian diikuti dengan “hadiah” tarif nol persen untuk produk impor dari Amerika. Dengan tarif nol persen produk impor dari Amerika, tentu akan menurunkan harga produk impor tersebut ke pasar Indonesia, dan ending-nya akan menurunkan harga kepada end user (konsumen akhir).
Lalu, apakah hasil negosiasi ini memang sebuah prestasi kemenangan bagi Indonesia, dan bagaimana pula dampak plus minusnya bagi konsumen di Indonesia?
Memang konsesi dari Indonesia ke Amerika untuk mengimpor produk-produk pertanian dari Amerika senilai Rp 73 triliun, bisa jadi berdampak positif karena produk produk dari Amerika pastinya akan lebih murah tanpa adanya tambahan bea masuk. Bahkan, pasar Indonesia bisa dibanjiri oleh produk-produk pertanian dari Amerika, seperti buah-buahan, atau bahkan bahan pangan. Artinya, dari perspektif konsumen, sebenarnya semakin banyak pilihan produk, maka harga akan semakin baik/kompetitif. Jadi adanya kemudahan impor produk tentu memberi pilhan pada konsumen, setidaknya dalam jangka pendek.
Tetapi persoalannya bukan hanya pada pilihan produk yang membanjiri pasaran plus dengan harga murah pula, tetapi juga harus dicermati isu isu krusial di bidang perlindungan konsumen. Misalnya, isu mengenai produk pertanian GMO (Genetically Modified Organism). Jika menyangkut isu halal, khususnya jika menyangkut daging, harus dipastikan bahwa mereka harus halal compliance untuk melindungi konsumen. Di sisi lain, dalam jangka panjang banjirnya produk impor pertanian memiliki potensi mematikan produk pertanian dalam negeri, sehingga bisa mematikan pasar Indonesia akan minim produk lokal, apalagi jika produk lokal harganya tidak kompetitif (lebih mahal) dengan produk impor.
Bahkan, dalam jangka menengah-panjang, kebijakan tarif rendah yang berlaku hanya untuk sebagian mitra dagang (Amerika) ini menimbulkan efek trade diversion. Artinya Indonesia mengimpor dari negara yang tidak benar-benar murah, tapi yang murahnya semu (karena tarifnya rendah). Jadi kalau Amerika meminta perlakuan yang fair dari Indonesia untuk impornya, itu masih bisa dipahami, tetapi kalau Amerika minta perlakukan khusus, itu justru tidak fair. Karena hal Ini bisa menimbulkan ketergantungan yang tidak alami, misalnya ketergantungan kita pada gandum, jagung dan kedelai dari Amerika, yang ada risiko mengandung GMO tersebut.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus komitmen kita membeli pesawat Boeing tipe 777 sebanyak 50 buah. Ini tentu bisa menjadi jebakan betmen, sebab untuk apa kita membeli pesawat berbadan lebar sebanyak itu? Karena maskapai kita tidak secara dominan melayani penerbangan internasional/penerbangan jarak jauh, sedangkan Boeing tipe 777 jelas untuk penerbangan jarak jauh. Sejatinya, Indonesia justru sangat membutuhkan tipe pesawat untuk penerbangan jarak pendek dan atau menengah, seperti Boeing seri 787, atau Airbus 320.