IPHI 1987 JABAR

Mempertimbangkan urgensi pembentukan undang -undang khusus tentang fraksi negara – LBH CADHAS


Pemberian amnesti kepada dua tokoh politik yang masih menjalani proses hukum aktif di tingkat banding telah memicu kecemasan yuridis yang harus dipelajari secara serius. Dalam kerangka hukum konstitusional, langkah ini membuka pertanyaan mendasar: dapatkah otoritas presiden dalam memberikan pengampunan negara dapat digunakan ketika kasus tersebut masih dalam proses hukum di lembaga peradilan? Ketika proses hukum belum selesai, dan kasusnya belum menjadi kekuatan hukum permanen (Inkracht dari peradilan res)Kemudian implementasi hak -hak hak prerogatif pengampunan negara itu berisiko menyebabkan distorsi konstitusional dan mengurangi kehormatan kekuasaan yudisial.

Pasal 14 Paragraf (2) Konstitusi Republik Indonesia 1945 secara eksplisit memberikan wewenang kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan penghapusan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Otoritas ini secara konstitusional valid, tetapi dalam sistem konstitusional yang menjunjung tinggi prinsip pemisahan kekuasaan (Pemisahan Kekuatan) Dan cek dan saldoImplementasi otoritas ini tidak boleh dipisahkan dari prinsip -prinsip kehati -hatian, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Prerogatif Presiden harus berjalan dalam batas keadilan dan norma -norma hukum agar tidak beralih ke instrumen intervensi pada proses hukum yang sedang berlangsung.

Tiga cabang kekuasaan negara – eksekutif, legislatif, dan peradilan – memiliki otoritas yang berbeda, tetapi saling mengimbangi. Presiden sebagai kepala eksekutif memegang otoritas pengampunan; DPR sebagai representasi lembaga legislatif memberikan pertimbangan; dan lembaga peradilan melaksanakan proses peradilan secara mandiri. Ketika presiden memberikan pengampunan ketika proses hukum belum selesai, yang terjadi bukan hanya implementasi hak prerogatif, tetapi potensi untuk mengabaikan proses hukum yang sedang berlangsung. Ini berbahaya, karena dapat menyebabkan preseden bahwa kekuasaan eksekutif berada di atas hukum, bukan tunduk pada hukum.

Kantor Kejaksaan sebagai bagian dari Eksekutif, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Hukum Nomor 11 tahun 2021 Mengenai Kantor Kejaksaan Republik Indonesia, berada dalam posisi strategis dalam penegakan hukum pidana. Tetapi dalam konteks memberikan amnesti dan penghapusan, penghentian kasus melalui jalur pengampunan negara yang dilakukan sebelum pengadilan menjatuhkan keputusan akhir untuk dapat memotong proses hukum secara sepihak. Jika tidak dikawal dengan norma -norma hukum yang ketat, itu membuka manipulasi manipulasi hukum secara hukum, tetapi tidak sah dalam pandangan keadilan prosedural.

Baca Juga  Universitas YARSI Gelar Penyuluhan Hak Anak, Dorong Terwujudnya Anak Berkualitas

Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki instrumen hukum yang positif dan terperinci yang mengatur prosedur untuk memberikan amnesti dan penghapusan. Hukum darurat nomor 11 tahun 1954 Tentang amnesti dan penghapusan yang telah digunakan sebagai referensi, sudah sangat usang dan tidak lagi relevan dengan kebutuhan aturan hukum modern. Dalam praktik administrasi konstitusional, presiden dan parlemen cenderung hanya mengandalkan teks konstitusional dan preseden politik masa lalu tanpa pedoman normatif yang menjamin transparansi, kepastian hukum, dan akuntabilitas kelembagaan. Akibatnya, pengampunan negara menjadi ruang abu-abu yang rentan terhadap beberapa interpretasi baik dalam hal waktu pemberian, klasifikasi kasus, dan kondisi objektif yang harus dipenuhi.

Dalam kerangka ini, sudah waktunya untuk Indonesia Hukum Umum Jenderal Jenderal Yaitu norma -norma hukum khusus yang secara eksplisit mengesampingkan ketentuan umum dalam hal memberikan amnesti dan penghapusan. Sebagai Hukum KhususUndang -undang Pengampunan Negara bukan hanya pelengkap Konstitusi, tetapi juga menjadi instrumen untuk mengendalikan kekuasaan sehingga implementasinya tetap berada dalam rel aturan hukum, bukan ruang kebijaksanaan yang tidak ada. Undang -undang ini harus secara eksplisit mengatur empat prinsip utama.

Pertama, batas -batas hadiah yang tidak dapat dilakukan selama proses hukum masih berlangsung atau ketika semuanya belum kenaikan Untuk mempertahankan kemerdekaan dan final keputusan pengadilan. Kedua, klasifikasi kasus -kasus yang dapat diberikan pengampunan harus sangat terbatas, misalnya hanya kasus -kasus karena alasan kemanusiaan, rekonsiliasi nasional, atau kepentingan strategis negara, dengan pengecualian terhadap kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme, dan pelanggaran hak asasi manusia.



Source link

//
Tim Dukungan IPHI 1987 JABAR siap menjawab pertanyaan anda
👋 Hallo, Silahkan beri tahu apa yang dapat kami bantu?