Tata kelola royalti musik di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan. Musisi terutama pencipta musik kerap mengeluhkan hasil distribusi yang tidak sebanding dengan pemanfaatan karya mereka. Sementara pemerintah menilai sistem yang ada perlu diperbaiki agar lebih transparan dan sesuai dengan perkembangan digital.
Rencana revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pun menjadi momentum penting untuk merumuskan kembali arah kebijakan pengelolaan royalti. Apalagi RUU Hak Cipta sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Agung Damarsasongko mengakui bahwa kinerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) masih belum optimal. Royalti yang diterima pencipta seringkali tidak mencerminkan penggunaan karya di lapangan. Misalnya, ada lagu yang sering dipakai di setiap konser musik, tapi musisi yang menciptakannya tidak menerima sesuai jumlah penggunaannya.
“Memang sebenarnya kalau kita lihat, LMKN ini belum optimal dalam kelompok penarikan. Itu yang sedang kita evaluasi agar lebih efektif ke depannya,” kata Agung dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Universitas Borobudur, Senin (25/8/2025).
Baca juga:
Agung pun menjelaskan pemerintah mendorong penerapan sistem digital licensing yang memungkinkan distribusi royalti dilakukan secara real-time. Dengan demikian pencipta bisa memantau kapan karyanya digunakan dan berapa pendapatan yang diperoleh.
“Model digital ini mirip dengan aplikasi transportasi daring yang langsung menampilkan pendapatan mitra,” jelasnya.