Pers tidak boleh dikenakan kekuasaan, kepentingan pemilik media, atau tren pasar yang tidak relevan dengan kebutuhan publik.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Surabaya (AJI), Andre Yuris menekankan bahwa pers di negara demokratis tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi lebih memiliki peran mendasar sebagai pengawas kekuasaan dan suara untuk orang -orang yang tidak didengar. Secara filosofis, pers adalah elemen utama dalam mempertahankan keseimbangan kekuasaan.
“Mengapa pers harus mengawasi kekuasaan? Karena tanpa pengawasan, kekuasaan dapat berubah menjadi tirani. Peran pers di sini tidak hanya penting, tetapi fundamental,” kata Andre ketika menggambarkan materi di situs web hukum pers antara kebebasan dan tanggung jawab hukum, jurnalis, dan perselisihan pers yang diadakan oleh Pelita Harapan University Studi Legal Program (FH UPH) SURABAYA, Selasa (7/1).
Andre menyoroti peran pers dalam mengangkat isu -isu dari masyarakat yang sering terpinggirkan, seperti masyarakat adat di Papua dan Kalimantan. Suara mereka sering tidak mencapai pusat kekuasaan, dan di sinilah media mengambil peran strategis.
“Apakah suara mereka mencapai Jakarta? Jika tidak, di situlah pers hadir. Jadi pekerjaan kami tidak hanya untuk berisi berita, tetapi juga berjuang untuk suara yang nyaris tidak terdengar,” katanya.
Baca juga:
Dia mengkritik praktik jurnalisme yang hanya berfokus pada penyerahan pernyataan tanpa konteks yang jelas. Dia mendorong wartawan untuk tidak hanya mengkhotbahkan ‘apa yang terjadi’, tetapi juga ‘mengapa itu penting bagi publik’. Salah satu prinsip jurnalisme adalah kesetiaan kepada publik.
Andre mengingatkan, pers tidak boleh tunduk pada kekuasaan, kepentingan pemilik media, atau tren pasar yang tidak relevan dengan kebutuhan publik. Dia menekankan pentingnya wartawan sebagai pengawas atau pemantauan kekuasaan. Misalnya, dalam melakukan penyelidikan korupsi atau kekerasan, pihak berwenang sebagai bentuk peran strategis dalam pers.